Seringkali kita menemukan klausul force majeure dalam perjanjian kerjasama atau kontrak bisnis. Namun, sebenarnya apa yang dimaksud dengan force majeure? Apa saja kategori yang tergolong sebagai force majeure? Pada kesempatan kali ini, Legistra akan menjelaskan tentang force majeure berdasarkan hukum di Indonesia.
Pengertian Force Majeure
Force Majeure adalah sebuah keadaan memaksa (overmacht) di mana salah satu pihak, gagal melakukan kewajibannya akibat sesuatu yang terjadi di luar kuasanya. Konsep Force Majeure sendiri mengacu pada ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) dalam Pasal 1244, 1245, 1445, dan 1445. Dalam keadaan force majeure, tidak ada pihak yang diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lain karena kondisi yang tidak memungkinkan.
Force majeure dalam perjanjian yang sering terjadi berupa bencana alam dan non-bencana alam yang memungkinkan sebuah perjanjian tersebut tidak memungkinkan untuk dilanjutkan. Klausul ini wajib tercantum dalam perjanjian pokok untuk mengantisipasi hal-hal yang kemungkinan akan terjadi dan berpotensi menjadi konflik bagi para pihak bersangkutan.
Berikut unsur-unsur suatu kondisi yang dapat dikatakan keadaan memaksa:
- Keadaan memaksa absolut (absolute onmogelijkheid), suatu keadaan di mana salah satu pihak sama sekali tidak mampu memenuhi prestasi (kewajiban) kepada lainnya karena terjadi bencana alam, kerusuhan massa, dan epidemi.
- Keadaan memaksa relatif (relatieve onmogelijkheid), suatu keadaan yang memicu salah satu pihak tidak dapat melakukan prestasinya.
Sedangkan, adapun kategori yang dianggap force majeure dalam perjanjian, yaitu:
- Tidak dipenuhinya prestasi karena terjadi peristiwa yang pembinasaan atau pemusnahan benda yang dijadikan objek perjanjian, kondisi ini selalu bersifat tetap.
- Tidak dipenuhinya prestasi karena peristiwa tidak terduga dan di luar kuasa salah satu pihak untuk melaksanakan prestasinya, baik bersifat tetap maupun sementara.
- Peristiwa tersebut tidak dapat diketahui atau diprediksi kapan terjadinya dalam suatu perjanjian. Maka, munculnya peristiwa ini bukan karena kesalahan salah satu pihak dalam perjanjian ataupun pihak ketiga.
Klausul Force Majeure Berdasarkan Hukum di Indonesia
Force majeure diatur dalam KUH Perdata, antara lain pasal-pasal berikut ini :
Pasal 1244
“Jika ada alasan untuk itu, si berutang harus dihukum mengganti biaya, rugi, dan bunga apabila ia tak dapat membuktikan, bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perjanjian itu, disebabkan suatu hal yang tak terduga, pun tak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu pun jika itikad buruk tidaklah ada pada pihaknya.”
Pasal 1245
“Tidaklah biaya rugi dan bunga, harus digantinya, apabila lantaran keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tak disengaja si berutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang.”
Tak hanya tercatat dalam KUH Perdata, penjelasan terkait bencana non-alam juga dicatat lebih jelas oleh UU No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana pada Pasal 1 ayat (3) menyatakan bahwa:
“Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa non alam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.”
Unsur-unsur yang menyatakan bagaimana suatu keadaan dapat dinyatakan sebagai force majeure lazimnya memiliki kesamaan dalam setiap aturan hukum dan putusan pengadilan dalam setiap interpretasi terhadap kata ini. Unsur-unsur tersebut antara lain:
- Peristiwa yang terjadi akibat suatu kejadian alam;
- Peristiwa yang tidak dapat diperkirakan akan terjadi; dan
- Peristiwa yang menunjukkan ketidakmampuan untuk melaksanakan kewajiban terhadap suatu kontrak baik secara keseluruhan maupun hanya untuk waktu tertentu.
Apakah COVID-19 Tergolong Force Majeure?
Walaupun berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang penetapan COVID-19 sebagai bencana nasional dan dianggap sebuah bencana non-alam, tetapi hal tersebut tidak serta merta menyatakan bahwa COVID-19 dapat dianggap sebagai force majeure.
Wabah ini akan dianggap force majeure jika dapat menghambat salah satu pihak untuk menjalankan kewajibannya serta yang tidak adanya unsur kesengajaan atau kelalaian yang membuat salah satu pihak tidak dapat menjalankan kewajibannya. Dengan begitu, barulah COVID-19 dapat dianggap sebagai force majeure.
Walaupun COVID-19 bisa saja terhitung sebagai force majeure, namun keputusan COVID-19 sebagai bencana alam belumlah cukup untuk membuktikan bahwa salah satu pihak dalam perjanjian dapat dilepaskan dari tanggung jawabnya melakukan ganti rugi. Karena walaupun kondisi COVID-19 saat ini dan pemberitaan bencana nasional, diperlukannya aturan secara resmi dari pemerintah yang mengakibatkan salah satu pihak tidak dapat menjalankan prestasinya.
Sesungguhnya tidaklah mudah untuk membuktikan COVID-19 sebagai syarat untuk membebaskan salah satu pihak dari kewajiban mengganti rugi atau bahkan membenarkan pihak lainnya untuk tidak menjalankan kewajibannya. Perlunya bukti bahwa adanya sebab akibat yang nyata antara pandemi COVID-19 dengan ketidakmampuan untuk menjalankan kewajiban.
Tentu saja untuk menentukan apakah COVID-19 dapat dianggap sebagai force majeure dalam perjanjian membutuhkan kajian mendalam mengenai perjanjian, proses dan bentuk kerjasama hingga telaah lebih dalam berdasarkan hukum yang berlaku. Ingin konsultasi lebih lanjut tentang kondisi COVID-19 terhadap bisnis Anda? Jangan ragu untuk hubungi Legistra!