Start your business today!

Hate Speech dan Cancel Culture di Indonesia, Apakah Sama?

Hate Speech dan Cancel Culture di Indonesia

Tentu jika Anda aktif menggunakan media sosial, istilah cancel culture sudah tidak lagi asing. Cancel culture adalah sebuah fenomena sosial media yang terjadi di kalangan generasi millenial. Di Indonesia sendiri, cancel culture sudah dapat kita jumpai di sosial media. Saat ini cancel culture dan hate speech di Indonesia masih dianggap serupa. Namun, apakah begitu?

Cancel culture adalah sebuah usaha kolektif memboikot seseorang atas tindakan dan perkataannya yang dianggap akan merugikan banyak orang. Sebelumnya fenomena ini dikenal dengan call-out culture. Sebetulnya tidak ada yang mengetahui pasti sejak kapan cancel culture tercetus.

Namun, fenomena ini mulai viral sejak kampanye #MeToo tahun 2017 untuk mendukung 16 korban pelecehan seksual dari Harvey Weinstein. Pada saat itu, selain Weinstein banyak juga artis Hollywood yang  diboikot oleh warganet akibat melakukan pelecehan seksual, seperti Kevin Spacey. Dampaknya adalah mereka berdua kini mengalami kehancuran karir, terutama Kevin Spacey.

Namun tak hanya memboikot pelaku-pelaku kekerasan seksual, cancel culture pun biasa digunakan warganet untuk meng-cancel seseorang hanya karena pertengkarannya dengan orang lain atau karena statement-nya yang dianggap meresahkan. Salah satu tokoh yang baru-baru ini di-cancel oleh warganet adalah J.K. Rowling, akibat cuitannya di Twitter dianggap merendahkan kaum transgender.

Fenomena hate speech dan cancel culture di Indonesia

Tanpa disadari sebetulnya terdapat berbagai fenomena cancel culture di Indonesia. Salah satu kasus paling viral pada tahun 2018, ketika warganet berbondong-bondong memboikot Gojek dengan kampanye dengan #UninstallGojek karena dianggap pro-LGBT.

Tak hanya Gojek, Karin Novilda (@awkarin) pun sempat di-cancel oleh warganet ketika di-callout oleh sebuah akun karena diduga melakukan plagiarisme dari karya-karya yang diunggah di Pinterest.

Dua Sisi Cancel Culture

Masih banyak perdebatan mengenai pro dan kontra dari cancel culture ini. Saat ini, cancel culture dianggap sebagai dua sisi mata uang sesuai dengan penggunaannya. Berikut sisi baik dan buruk penggunaan cancel culture:

Sisi Baik

Sisi baik dari cancel culture dianggap sebagai online activism untuk meningkatkan kesadaran warganet terhadap sebuah isu. Salah satu isu yang sering menggunakan cancel culture adalah pelecehan seksual. Kesulitan para korban untuk menjerat pelaku kekerasan seksual dengan jalur hukum membuat warganet secara sadar dan kolektif mendukung korban dan meng-cancel pelaku.

Dampak baik dari cancel culture terhadap isu pelecehan seksual ini memudahkan proses hukum. Para pelaku akhirnya para pelaku terdesak merekam dan mengaku perbuatannya, sehingga terdapat penguatan bukti untuk pelaporan kasus.

Tak hanya kasus pelecehan seksual, perusahaan es krim AICE pun di-cancel warganet dengan kampanye #BoikotAICE karena dianggap tidak memikirkan kesejahteraan karyawannya. FSEDAR (Forum Serikat Buruh Demokratik Kerakyatan) mengampanyekan #BoikotAICE melalui Twitter dengan menunjukkan bukti-bukti kelalaian AICE.

Berbeda dengan kasus pemerkosaan, pada kasus AICE cancel culture hanya digunakan untuk meningkatkan kesadaran warganet bagaimana harga es krim tersebut dapat terjangkau. Sebelum dikampanyekan secara online, kasus ini sudah menjalankan proses hukum yang didampingi FSEDAR.

Sisi Buruk

Praktik cancel culture yang tidak disampaikan secara tepat hanya akan berujung menjadi hate speech belaka. Penyampaian secara tepat ini dimaksudkan bahwa orang pertama yang menyebarkan berita tidak fokus pada permasalahan, namun lebih kepada hal-hal identitas dan personal.

Penjelasan mengenai sesuatu yang akan dianggap hate speech di Indonesia sendiri diatur pada Surat Edaran Kepolisian Negara Nomor SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech) Pasal . 2 huruf (f), yaitu:

    • Penghinaan
    • Pencemaran nama baik;
    • Penistaan;
    • Perbuatan tidak menyenangkan;
    • Memprovokasi;
    • Menghasut;
    • Penyebaran berita bohong;
    • Semua tindakan di atas yang memiliki tujuan atau dapat berdampak pada diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, atau konflik sosial.

Sedangkan berdasarkan SE KAPOLRI 6/X/2015 NPasal 2 huruf (g), aspek yang dianggap hate speech di Indonesia jika melanggar:

    • Suku;
    • Agama;
    • Aliran keagamaan;
    • Ras;
    • Antargolongan;
    • Warna kulit;
    • Etnis;
    • Kaum difabel;
    • Orientasi seksual.

Cancel Culture di Mata Hukum Indonesia

Saat ini cancel culture dan hate speech masih dianggap berada di ranah yang sama di Indonesia. Hate speech di Indonesia memiliki aturan hukum dan dapat dianggap sebagai tindakan pidana jika menghina suku, agama, ras, dan antargolongan. Selain SE KAPOLRI 6/15, hate speech di Indonesia juga diatur pada KUHP pada pasal 310 ayat (1) dan (2),  Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (3) UU No. 19 tahun 2016.

Sebetulnya tidak ada yang salah dari cancel culture jika masih berada dalam batasan-batasan dan tidak melanggar aturan yang berlaku. Jika ditujukannya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap isu-isu tertentu, seperti kasus “Gilang Bungkus” ataualih-alih ingin meningkatkan kesadaran terhadap suatu kasus, hal tersebut dapat berujung kepada aturan hate speech di Indonesia.Maka dari itu, betapa pentingnya menggunakan sosial media secara bijak. Anda juga dapat mengkonsultasikan permasalahan hukum lainnya bersama Legistra!

Share the Post:

Related Posts

WhatsApp chat